Dulu, sebelum datang ke Pulau Bunyu, saya fikir hanya orang-orang yang berasal dari Sumatera Utara aja yang kerap kali menggunakan ungkapan "bah". Tapi setelah tiba dan menetap di pulau kecil ini, setiap hari saya dengar ungkapan "bah" digunakan dalam percakapan sehari-hari. Tapi pengucapannya ndak seperti tekanan nada pada "bah"nya orang Batak. Ya jelas lain bah, orang Batak kalau lagi ngomong biasanya gayanya bersemangat banget, kan. Jadinya setiap kalimat selalu pakai tekanan-tekanan. Seperti om Hutabarat, bapaknya si Binsar, teman saya di Prokimal – Lampung Utara itu. Kalau beliau lagi ngomong, ndak perlu pakai sound system, dari jarak 100 meter pun masih kedengaran jelas. Tapi ndak semua orang Batak seperti itu cara ngomongnya.
Ndak orang Batak, ndak juga orang Bunyu ‘n orang-orang Kalimantan Timur pada umumnya, "bah" tetap dijadikan sebagai ungkapan sebagai penekanan pada kalimat. Tapi kayaknya "bah" dalam ungkapan Batak bisa berdiri sendiri. Misalnya saat mengungkapkan rasa terkejut. Lain halnya "bah" dalam percakapan orang-orang di Kaltim, fungsinya jadi pengganti dong, deh, atau sih. Ini mirip fungsi ungkapan "mi" bagi orang-orang di kota Makasar. Mungkin di daerah-daerah lain juga punya ungkapan-ungkapan sendiri yang seperti itu. Misalnya "dang" atau "jo" di kota Manado dan sekitarnya. Atau ungkapan "je" di beberapa kota di Jawa yang dalam keseharian pakai bahasa Jawa.
Saya sendiri ndak tau sejak kapan ungkapan "bah" ini digunakan dalam percakapan orang-orang Bunyu atau di kawasan Kaltim lainnya. Lha wong pas saya sudah sampai kesini orang-orang sudah pada ber"bah" gitu. Lagi pula saya belum punya waktu untuk menelusuri kronologis penggunaan ungkapan "bah" ini di Pulau Bunyu atau di kawasan Kaltim ini. Siapa sih yang pertama kali menggunakannya? Apa gara-gara ketularan orang-orang Batak? Tapi kayaknya ndak bah.
Sumber : johansite.com
7 tahun yang lalu